[Ficlet] Selingkuhan : Sesalku

original

Selingkuhan : Sesalku

By: Febby Fatma

Drama, Romance, Hurt/Comfort

PG-15

Ficlet

Cast :

Nakamoto Yuta NCT

Nikaido Ran (OC)

Disclaimer: Aku hanya pemilik plot dan OC. Yang lainnya bukan punyaku. Mohon tidak copy-paste atau plagiat.Sebelumnya terima kasih dan selamat baca~

Sebelumnya : [1] [2] [3] [4] [5]

—————

Aku belum pernah merasa begitu menyesal karena harus meninggalkan sesuatu demi waktuku dengan Yuta. Belum pernah … sampai kemarin sore, aku belum pernah merasakan itu.

Tapi malamnya, di perjalanan pulang dari Akita (yang begitu mendadak dan tidak sesuai dengan perkiraan kami) aku terus menyesali kebodohanku yang mengabaikan puluhan telepon masuk dari Ibu, Ayah, Akira bahkan Kento.

Kalau saja waktu itu aku mengangkat salah satu panggilan mereka. Kalau saja saat itu aku mau lepas dari Yuta barang lima menit saja. Kalau saja begitu. Aku yakin—sangat yakin—rasa sesal ini tidak akan begitu besar dan menyiksa. Setidaknya, aku tidak akan merasa begitu malu untuk berdiri di hadapan pigura nenekku.

—————————

Sesampai kami di Akita waktu itu, Yuta langsung memesan dua kamar dengan satu ranjang. Dia pamit padaku karena ada temannya yang mengajak makan malam bersama. Hari berikutnya juga sama. Sebenarnya dia mengajakku ikut serta, tapi aku menolak. Aku tidak ingin ada orang yang curiga dengan hubungan kami.

Malam itu Akira, kakakku, terus meneleponku. Awalnya aku berniat mengangkat panggilan itu, tapi niat itu aku batalkan. Aku memilih untuk memasang mode diam di ponselku dan tinggal dengan Yuta.

Esoknya, setelah makan siang aku baru memerika ponselku dan sebuah kabar buruk langsung menjadi hadiah dari kebodohanku yang mengabaikan semua panggilan sejak malamnya.

Nenekku meninggal.

Lebih parahnya, aku tidak bisa hadir pada saat pemakaman.

Aku menyesal. Sungguh.

Mengabaikan panggilan dari Ibu, Ayah dan kakakku bahkan kekasihku. Harusnya aku tahu kalau ada hal penting yang ingin mereka sampaikan. Paling tidak, harusnya aku berpikir demikian. Tapi bodohnya aku, karena terlalu ingin bersama Yuta, karena ingin waktuku dengan Yuta tidak terganggu, karena keegoisanku itu, aku tidak bisa mengucapkan salam terakhir pada nenek yang sudah menjagaku semasa kecil.

Aku bodoh. Aku tahu. Dan aku jadi semakin bodoh sekarang.

Sesampainya aku dan Yuta di rumah duka, Kento dan Akira langsung menyambutku. Aya juga datang, untuk menyambut Yuta tentu saja.

Ayah sedang menemani Ibu yang masih menangis di hadapan pigura nenek.

Oh Tuhan~ ampuni aku yang bodoh ini. Demi waktu bersama dengan lelaki yang tidak seharusnya pergi bersamaku, aku mengabaikan saat terakhir bertemu dengan nenek. Ampuni aku, Nek. Ampuni cucumu yang nakal ini. Ampuni aku.

“Nenek, Ran minta maaf. Ran salah. Ran memang selalu bodoh. Maafkan Ran, Nek.”

Aku terjatuh di samping ibuku. Menangis sesegukan di pelukan Kento dan Ibu. Akira di belakangku terus mengusap pucuk kepalaku.

Aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Rasa bersalahku rasanya semakin membengkak, berkali-kali lipat. Mereka semua pikir aku pergi karena ada pekerjaan. Mereka semua pikir aku terlalu sibuk hingga semenyesal ini. Mereka semua berpikir seperti itu tanpa tahu bagaimana yang sesungguhnya terjadi sebelum ini.

“Nenek! Ran minta maaf. Maafkan Ran, Nek. Tolong maafkan Ran.”

“Cukup, sayang. Nenekmu pasti bisa memahamimu.”

Ibu salah. Ibu hanya tidak tahu yang sesungguhnya.

“Iya, Ran. Nenek justru akan sangat sedih jika kau tangisi seperti itu.”

Akira juga salah.

Kalau saja kalian tahu yang sesungguhnya … apa kalian akan tetap berkata seperti itu?

Dan betapa laknatnya aku ini. Hatiku sedih. Tapi bukan hanya karena kepergian nenek. Melihat Yuta yang tangannya diapit Aya membuat rasa sesak di dadaku semakin menyiksa.

Lihat saja betapa menyedihkannya aku ini. Aku cucu yang durhaka, bukan?

Nenekku meninggal saat aku sibuk menghabiskan waktu bersama selingkuhanku dengan dalih sedang bekerja. Aku tidak bisa menemui nenekku disaat-saat terakhir atau ikut mengantar pemakamannya karena sibuk bersama Yuta. Mengabaikan puluhan panggilan demi Yuta.

Dan yang kudapat justru rasa cemburu.

—————————

Kento baru saja meninggalkan aku di pojok kamar pelayat untuk mengambil minum dan obat nyeri saat Yuta tiba-tiba datang dan duduk di sampingku.

“Ran, maaf.”

Kepalaku benar-benar sakit saat ini.

“Karena ajakanku kau tidak bisa bertemu nenekmu disaat—”

“Yuta.” Aya terlihat sedang sibuk dengan beberapa kerabat kami, menghidangkan suguhan bagi para pelayat. “Bisa tinggal aku sendiri?”

“Tapi,”

“Aku sangat menghargai rasa kasihanmu saat ini—”

“Ini bukan rasa kasihan. Aku benar-benar merasa bersalah.”

“Hm, anggap saja begitu. Aku menghargainnya, tapi aku akan lebih menghargaimu jika kau biarkan aku sendiri saat ini.”

Matanya menatap dalam pada mataku cukup lama sampai akhirnya dia mengalah. “Malam ini aku akan ke rumahmu.” Itu katanya sebelum pergi menghampiri Aya dan pamit pada keluarga yang lain.

Akira dulu pernah bilang padaku jika Nakamoto Yuta itu adalah orang yang sangat bertanggung jawab, dan aku rasa dia sedikit salah tentang itu. Bukan ‘sangat’ tapi ‘kadang-kadang’. Setidaknya di mataku, Yuta bukanlah sosok yang sebegitu hebatnya hingga perlu diagung-agungkan di keluarga besar.

Walau dia selalu bilang dia mencintaiku (dan aku mempercayainya lebih dari siapapun) tapi ada sisi dalam diriku yang dengan mudah membencinya. Sisi yang marah pada setiap hal buruk karena Yuta. Entah ini masih bisa disebut cinta atau tidak, tapi aku benar-benar tidak ingin melihat wajahnya saat ini atau malam nanti.

—————————

“Ran, buka pintunya.”

Aku tidak bergerak sama sekali. Pintu kamar jadi tidak terlihat dalam keadaan lampu mati dan mata yang basah karena air mata.

“Ran, kita harus bicara. Kumohon, buka pintunya.”

“Pulanglah. Aku sedang tidak ingin sendiri.”

“Aku tidak bisa meninggalkan kau sendiri setelah melihatmu seperti tadi pagi. Ayolah, buka pintunya.”

Dia terus mengetuk dan memintaku membukakan pintunya. Akira sudah memintanya untuk pulang, tapi dia menolak. Dengan alasan merasa harus bicara dan minta maaf dia mendapatkan ijin dari Akira untuk berbuat sesukanya selama tidak membuat masalah. Akira terlalu baik padanya, tapi aku tidak bisa menyalahkan Akira juga, aku yang selalu meminta Akira menerima Yuta di rumah kami dulunya.

“Ran, kau mendengarku?” aku mendengar. Tapi aku tidak ingin menemuimu. Tolong pahamlah sedikit Yuta, aku tidak bisa untuk sekarang. Berikan aku sedikit waktu, kumohon. “Ran, aku masuk.”

Dia membuka pintu kamarku. Sial betul, aku lupa menguncinya tadi. Sekarang siluet dirinya terlihat diambang pintu. Dia masih berdiri di sana, mungkin ragu untuk mendekat. Aku pernah memperingatinya untuk tidak memasuki kamarku, takut membuat masalah nanti.

“Ran, aku minta maaf.”

“Yuta, aku mohon, biarkan aku sendiri. Aku sedang tidak ingin menemui siapapun, terutama kau.”

“Tapi, Ran,”

“Aku mohon.” Aku sesegukan. “Keluar dan jangan temui aku dulu. Aku butuh waktu, Yuta.”

Bukannya menuruti perkataanku dia justu mendekat dan menghampiriku. Berdiri di sisi ranjangku, menghadap kearahku. Mungkin dia marah, tapi kali ini aku tidak perduli tentang itu, aku hanya tidak ingin menemuinya.

“Dengarkan aku sebentar.”

Aku diam.

“Aku minta maaf, karenaku kau tidak bisa menemui nenekmu, karena bersama denganku kau jadi semenyesal ini. Maafkan aku, tapi tolong jangan pernah berpikir untuk mengakhiri hubungan kita.”

“Tolong keluar, kubilang.”

“Ran, aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja. Kalau perlu aku akan tetap disini untuk menemanimu malam ini. Kau bisa menyalahkanku sepuasmu, marah dan menangis sepuasmu. Tapi biarkan aku tetap bersamamu.”

“Keluar, kubilang!”

“Ran.”

“KAU TULI? AKU BILANG KELUAR!”

Aku berdiri, mendekat padanya dan mendorongnya untuk keluar. Dia menahan dan mencoba memlukku, tapi aku menolak. “Keluar! Cepat keluar!” aku terus mendorongnya dan meminta dia keluar sampai akhirnya Akira datang dan memisahkan kami.

Akira memintanya pulang. Dengan aura kakak yang Akira punya, Yuta terpaksa menurutinya, tapi Yuta masih tidak menyerah begitu saja.

“Aku akan menemuimu besok, Ran.”

“KUBILANG BIARKAN AKU SENDIRI! APA KAU TULI?”

—————————

Sekian, Ran lagi nggak mood jadi nggak bisa nulis banyak tentang dia~ /alasan/plak

Segitu aja dariku kali ini. Sampai ketemu lagi.

Febby pamit~

Tinggalkan komentar