One Night Girl (Super Junior Donghae Version)

One Night Girl Donghae

One Night Girl

(Super Junior Donghae Version)

 

By : Febby Fatma

Drama, Romance

Oneshot

NC-17

Main Cast :

Song Hana (OC)

Lee Donghae Super Junior

 

“Kau mulai lagi!”

“Aku tidak melakukan apa-apa.”

Hana harus berdiri sendiri lagi menghadapi tiga gadis lain yang seharusnya satu tingkat di atas Hana. Wajah-wajah gadis itu seperti ingin membunuh Hana karena seorang laki-laki.

“Kau pikir aku tidak lihat? Kau dan Sehun berangkat bersama lagi, kan?”

“Rumah kami memang dekat, bertemu di jalan dan berangkat bersama tidak ada salahnya bukan?”

Tiga gadis itu terlihat semakin kesal karena sikap Hana yang acuh tak acuh pada teguran mereka. Kalau tidak berada di sekolah, sepertinya Hana sudah habis babak belur oleh mereka-mereka ini.

“Lagi pula, ada Jungkook juga.” Tambah Hana.

Hana bukan takut dengan tiga gadis lain di hadapannya. Hana hanya tidak mau terlibat masalah di saat-saat terakhirnya bersekolah.

Satu dari gadis itu maju mendekati Hana. Tangan gadis itu terlipat di depan dada, jadi saat dia berbisik pada Hana, gadis itu sedikit membungkuk. “Kau aku maafkan kali ini.”

“Anggap saja kau sedang beruntung karna hari ini aku sedang senang.” Gadis itu menepuk pipi kiri Hana pelan dan tersenyum jahat pada Hana. “Sehun mau aku ajak berkencan sepulang sekolah nanti.”

Hana tahu gadis itu sedang mencoba untuk membuat Hana cemburu. Tapi nyatanya Hana sama sekali cemburu mendengarnya. Hana sudah sering mendapat yang lebih dari laki-laki bernama Sehun itu.

“Syukurlah kalau seperti itu.” Gadis itu mengangguk bangga dengan prestasinya yang terlihat kecil di mata Hana. “Aku tidak akan menggangguk kalian. Jadi apa sekarang aku boleh kembali ke kelasku?”

Langkah Hana di tahan. Gadis tadi tiba-tiba saja menjambak rambut Hana hingga Hana mendongak padanya. “Lain kali, kalau kau berani mendekati Sehun lagi kau akan dapat yang lebih dari ini.”

Hana tidak menjawabnya. Sekali lagi gadis itu menepuk pipi Hana pelan. “Jangan karena kau mantan kekasih kakaknya kau beranggapan kau juga bisa mendekati Sehun. Itu Mimpi.” Dengan telunjuknya gadis itu mendorong kepala Hana.

“Ayo kita pergi.” Katanya pada dua orang penonton yang mengawal gadis itu.

Mereka meninggalkan Hana dengan sejuta kesal di toilet sekolah mereka. Tadi Hana ke toilet karena dia harus ganti seragam untuk olah raga. Tapi tiba-tiba gadis-gadis yang tidak satu kelas dengannya itu datang dan memojokkan Hana.

 

“Kau terlihat pucat. Lebih baik kembali ke kelas saja.” Hana menggeleng pada laki-laki yang menegurnya itu. Dia laki-laki yang menjadi alasan Hana harus punya musuh di toilet tadi.

“Aku baik-baik saja.” Tapi setelah mengatakan itu Hana justru limbung. Untung Sehun menangkapnya.

“Kau tidak baik-baik saja?” Hana menjauhkan dirinya dari Sehun. Dia tahu sekarang ada mata-mata yang akan mengawasinya bersama Sehun. “Aku antar ke ruang kesehatan saja ya?” Sekali lagi Hana menolaknya.

Jujur, kadang Hana merasa jahat karena sikapnya yang kaku pada Sehun saat di sekolah. Tapi, tidak ada cara lain. Lagi pula Hana hanya harus bersikap seperti itu saat di sekolah.

Hana mengakat tangannya agar guru yang berdiri di pinggir lapangan melihat Hana saat ini. “Guru Lee, aku pamit kembali ke kelas.”

“Kenapa?” Guru itu mendekat pada Hana dan Sehun yang masih berdiri di tempat mereka. Olah raga hari itu adalah lari cepat. Mereka sedang menunggu giliran nama mereka di panggil di sisi lain lapangan.

“Aku merasa pusing.” Sebuah anggukan dari sang guru menjadi alasan Hana menjauh dari Sehun. Tapi laki-laki itu malah menahannya.

“Guru, aku akan mengantarnya.” Dengan matanya Hana meminta sang guru untuk menolak permintaan Sehun.

“Habis ini kau yang lari.”

“Hanya sebentar guru. Aku takut Hana pingsan atau semacamnya.”

“Apa kau bisa jalan sendiri?” Tanya sang guru pada Hana. Tentu saja gadis itu mengiyakannya. “Kalau begitu hati-hati.”

Hana pergi dari lapangan itu sendiri. Sekali lagi dia berhasil menjauhkan Sehun dari dirinya. Sekali lagi Hana menyakiti laki-laki itu.

 

“Kau tidak pulang?” Hana bangun dari posisi tidurnya saat seseorang masuk ruangan itu dan bertanya pada Hana. “Ini sudah terlalu sore untuk terus ada di sekolah.”

“Aku malas pulang.” Pria yang jauh lebih tua darinya itu tersenyum saat duduk di sisi ranjang ruang kesehatan Hana. “Guru sendiri kenapa belum pulang?”

“Aku belum pulang karena kau belum pulang.” Laki-laki itu menggunakan intonasi yang seolah menyindir Hana. Tapi senyum pria itu mengatakan maksud lain. “Mana mungkin aku pulang saat aku tahu ada muridku yang masih tinggal di sekolah.”

“Guru terlalu sempurna.” Hana menurunkan kakinya. Dia kini duduk berjajar dengan pria itu. “Guru lain saja tidak perduli.”

“Bagaimana aku bisa tidak perduli jika orang itu adalah kau?” Hana tersenyum menyenangkan untuk pria yang mengusap kepalanya halus. “Tidak mungkin bukan?”

Hana mengangguk-angguk sambil memainkan kakinya. “Guru mau menemani aku di sini?”

“Kenapa lagi?”

Hana tersenyum mendengar pertanyaan itu. Orang ini sama saja dengan yang lain, mereka selalu tahu kalau ada yang salah pada Hana hanya dengan tawaran untuk menemaninya. Atau memang Hana yang hanya datang saat dirinya mendapat masalah?

“Hanya sedang malas ada di rumah. Rasanya seperti di neraka.” Pria itu mengangguk, mengiyakan permintaan Hana dengan senyumnya. “Oh ya, Guru.”

“Apa?”

“Mereka bertiga menggangguku lagi.” Itu terdengar seperti aduan. Tapi Hana tidak benar-benar sedang mengadu. Dia hanya ingin bercerita. “Tadi pagi aku berangkat dengan Jungkook dan bertemu Sehun di jalan. Tapi mereka marahnya seperti aku yang sengaja datang ke rumah Sehun dan mengajak anak itu berangkat bersama.”

Pria di sisinya tertawa. Tangan milik gurunya yang tadi siang membebaskan Hana dari Sehun itu kini ada di kepalanya. “Lalu apa yang mereka lakukan kali ini? Mereka tidak sampai menyakitimu, kan?”

“Tidak. Hanya sedikit kasar.” Setelah itu keduanya hanya tertawa dan menceritakan apa yang terjadi di sekolah hari itu. Menceritakan hal menarik yang mereka alami atau lihat.

“Tapi Guru,” Hana menahan tangan pria di sisinya. “Apa tidak apa-apa kalau malam ini kau menemani aku lagi? Aku rasa tunanganmu akan sangat sedih di malam akhir pekan tidak ada yang menemaninya.”

“Tidak apa-apa.” Hana berdiri dan memakai sepatunya yang tersimpan di bawah ranjang itu. Dia menarik tangan sang guru untuk ikut dengannya keluar ruangan itu.

Langkah kaki Hana membawa mereka ke atap sekolah itu. Langit malam yang gelap seolah memberi tahu mereka kalau waktu yang mereka lalui sangat cepat.

“Guru pernah berpikir untuk mati?” Hana berlari menuju pembatas atap. Itu hanya sebuah tembok yang tingginya sekitar 50 cm dan terlihat sangat berbahaya saat Hana berlari ke sana. Gadis itu seolah ingin langsung melompat dari sana.

Gedung sekolah itu memang tidak terlalu tinggi. Hanya tingkat empat termasuk atap, tapi tetap saja jika Hana melompat dari sana, gadis itu mungkin tidak akan selamat.

“Kau pernah berpikir seperti itu?” Cara bertanya sang guru yang begitu tenang membuat senyum Hana merekah. Biasanya pria lain akan terlihat khawatir, tapi pria satu ini tidak.

“Sering.” Hana menerima uluran tangan sang guru yang ingin menuntunnya berjalan di sekeliling tembok pembantas. “Aku bahkan sering berpikir untuk melompat dari tempat ini.”

“Lalu kenapa tidak melompat?” Hana terkekeh mendengar pertanyaan itu. Pria yang bersama dengannya ini memang berbeda. “Kau takut?”

Hana mengangguk. “Saat aku berdiri melihat ke bawah jantungku berdebar kencang dan aku pikir itu artinya aku belum siap.”

Kaki Hana yang melangkah santai di atas tembok keliling itu terlihat begitu ringan. Seolah gadis itu sedang terbang dan hanya berpura-pura menapak di sana. “Aku juga berpikir apa yang akan terjadi pada ibu dan ayahku jika anak satu-satunya mereka mati bunuh diri?”

Mata mereka bertemu sesaat dan keduanya tersenyum. “Apa yang terjadi pada Guru Lee Donghae jika murid kesayangannya mati di tempat kencan mereka?” Sang guru tertawa. Pria bernama Donghae itu menarik tangan Hana yang dituntun olehnya agar Hana turun dari tempat berbahaya itu.

“Itu sangat mengerikan.” Donghae mengatakan itu dengan ekspresi yang lucu bagi Hana. Pria itu terlihat jelas membuat-buat wajah khawatirnya. “Aku rasa aku akan ikut mati denganmu.”

“Guru, kau tidak perlu berbohong seperti itu.” Hana tertawa sendiri di hadapan pria pilihannya malam itu. “Dari semua pria yang aku temui, kau adalah satu-satunya orang yang mau menemaniku karena kasihan pada nasibku. Iyakan?”

“Tidak.” Hana memelankan perlahan tawanya hingga berhenti. Melihat keseriusan di mata pria itu membuat Hana merasa jahat sudah tertawa seenaknya. “Kau salah.”

“Guru, sudahlah.” Hana menarik tangannya dari genggaman Donghae. Dia membuat Donghae diam di tempat saat Hana memilih untuk mengalihkan perhatiannya. “Jangan seperti mereka yang selalu bilang ‘hanya aku’. Aku benar-benar tidak suka kata-kata itu.”

“Aku tidak ingin mengatakan itu.” Hana menoleh, ada seulas senyum di wajah Donghae untuk muridnya itu. “Mencintai itu bukan berarti harus memiliki. Iyakan?”

Hana mengiyakan. Sekali lagi gadis itu naik ke atas pembatas. Kali ini bukan untuk berjalan di atasnya. Hana hanya duduk di sana. Membiarkan kakinya bermain dengan angin di atas sana. “Yah banyak yang bilang seperti itu. Bahkan dipraktekan pada drama-drama.”

Donghae mengambil tempat di samping gadis itu. Dia membiarkan Hana menyandarkan kepala di bahunya. “Dan aku rasa aku juga harus seperti di drama-drama itu.”

“Yah, kau harus mementingkan kehidupan di masa depanmu. Tidak masuk akal jika kau terus mempertahankan seorang gadis yang bahkan tidak tahu harus memilih siapa nantinya.”

Tangan Donghae memainkan satu tangan Hana. Menggenggam tangan dingin milik Hana dalam diam dan membiarkan gadis itu tetap meneruskan kalimatnya.

“Aku ingin yang lain juga berpikir seperti Guru. Mereka juga harus menemukan gadis baik yang hanya mencintai mereka. Gadis baik yang bisa jadi ibu untuk anak-anak mereka nantinya.” Hana masih memainkan kakinya dengan angin yang ada di sana. “Kalian harus hidup bahagia dengan keluarga kalian nanti. Kalian harus jadi suami yang setia dan baik. Jadi sosok ayah yang hebat. Dengan begitu aku juga akan senang.”

“Kau tidak merasa dingin?” Hana mengangkat kepalanya yang tersandar di bahu Donghae. Gadis itu menatap Donghae sesaat lalu menggeleng. Seragam musim dingin miliknya bahkan bisa jadi lebih hangat di malam hari saat dia bersama dengan orang yang dia pilih saat ini. “Tidak ingin makan sesuatu?”

“Guru ingin mengajakku ke suatu tempat?” Kali ini Donghae yang menggeleng. “Lalu?“

“Dari tadi siang kau ada di ruang kesehatan. Kau tidak lapar? Atau mungkin minum sesuatu yang hangat?” Hana tersenyum dan kembali menyandarkan kepalanya di bahu Donghae. Tangannya dalam genggaman Donghae kini berbalik menggenggam tangan pria itu.

“Kalau kita keluar sekolah sekarang, kita tidak bisa kembali lagi nanti. Guru tahu itu dengan pasti.” Donghae hanya diam melihat pemandangan malam di sekolah itu. Lapangan yang biasanya terlihat ramai itu kini 180 derajat berbanding terbalik. Bahkan rumput hijaunya tidak terlihat karena gelap malam itu. “Aku belum ingin pergi dari sini. Bagaimana dengan Guru? Apa sekarang Guru baru ingat sesuatu?”

“Tidak. Aku hanya tidak ingin kau sakit.” Hana terkekeh mendengar itu. Mendengar pria itu mengatakan sesuatu seperti tadi rasanya seperti Hana sedang diledek.

“Hana-ya,”

“Eum?”

“Kalau aku sudah menikah nanti, apa aku masih bisa bertemu denganmu seperti ini?”

“Tidak.” Hana menjawab itu dengan mudah. Tangan Donghae dalam genggamannya dia lepas perlahan. Kini kepalanya juga sudah tidak di bahu Donghae lagi. “Aku tidak ingin menjadi wanita jahat perebut suami orang.”

Donghae tidak mengatakan apa-apa. Bahkan saat Hana berdiri di sisinya. Dia hanya menatap wajah sendu milik gadis yang paling dia cintai itu dalam diam.

“Jika guru sudah menikah nanti, Guru tidak boleh bertemu denganku seperti ini lagi. Aku sudah katakan tadi, kalian harus jadi suami yang baik dan setia.” Hana hanya berdiri di sana. Di sisi Donghae.

“Aku sudah menyakiti perasaan kalian. Aku mungkin sudah merusak kalian. Tapi aku tidak ingin merusak keluarga kalian nanti. Aku tidak ingin menjadi kapak yang merusah sebuah rumah.” Gadis itu menatap Donghae dan menunjukan seulas senyum. “Guru paham itu bukan?”

“Kalau begitu lebih baik aku menunda pernikahanku.” Mata Hana membelo. Gadis itu langsung berjongkok di samping Donghae dengan pandangan yang meminta Donghae untuk menjelaskan maksud perkataan tadi. “Dua bulan lagi aku akan menikah. Tapi aku pikir sampai dua bulan ke depan aku juga tidak bisa sering bertemu denganmu.”

“Jangan tunda hal itu. Kalau Guru lakukan itu, sama saja guru membuat aku sebagai penjahat.” Donghae menatap muridnya itu dan menarik Hana menjauh dari tempat berbahaya yang sejak tadi mereka isi. Dia takut Hana mengancamnya dengan hal yang berbahaya.

“Guru mencintai tunangan guru itu, kan?”

“Tidak sebesar cintaku untukmu.” Hana hanya mengangguk di hadapan pria itu. Tidak ada lagi seulas senyum untuk dia yang lebih tinggi dari Hana itu.

“Tapi cinta dia untuk Guru lebih besar ketimbang cintaku untuk Guru.” Hana tahu kalimatnya menyakiti perasaan sang guru. Tapi itu adalah kalimat terbaik yang bisa Hana gunakan untuk menyadarkan sang guru. “Di dalam drama biasanya akan ada peran yang lebih baik jika harus memilih seseorang yang lebih mencintai dia dari pada seseorang yang lebih dia cintai tapi tidak bisa membalas cintanya.”

“Bukannya kau tidak suka drama?” Hana mengangguk. Dia memang tidak suka dengan cerita-cerita cinta di drama. Terlalu berlebihan menurutnya.

“Tapi kadang drama mengatakan sesuatu yang benar. Kadang drama memberi tahu sebuah kenyataan yang lebih masuk akal dari pada sekedar perasaan cinta.” Hana kembali meraih tangan gurunya. Dia mengusap tangan itu lembut dan kembali menunjukan senyumnya. “Sesekali Guru harus percaya pada drama cinta di tivi-tivi itu.”

“Lagi pula dua bulan dari sekarang aku juga sudah tidak sekolah di sini. Aku akan lulus bulan depan. Iyakan?” Donghae tidak mengatakan apa-apa dia hanya menarik tubuh Hana dalam pelukannya. Membiarkan tubuh kurus milik gadis itu merasakan hangat tubuhnya.

“Belajar jatuh cinta pada seseorang yang mencintai kita itu mudah.” Hana berbisik dalam pelukan Donghae. “Guru bahkan sudah mencintainya. Hanya butuh waktu lebih untuk lebih mencintainya.”

“Iya, aku akan belajar melakukan itu.” Hana tersenyum saat pelukan mereka berakhir. Sebuah ciuman lembut menjadi hadiah dari Hana untuk guru kesayangannya itu.

Donghae juga tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dia membalas ciuman itu dan memperdalamnya. Menarik Hana untuk lebih dekat dengannya.

Hana sendiri belum bisa melepas diri dari ikatan itu. Dia masih ingin memberi waktu pada guru kesayangannya itu untuk menikmati malam mereka. Karena mungkin ini akan jadi malam terakhir yang bisa mereka lalui bersama.

“Guru harus menjaga keluarga Guru baik-baik. Bahkan saat aku datang mengganggu nanti, Guru harus menolakku. Jangan datang padaku apapun yang terjadi.” Donghae mengangguk dan kembali merengkuh Hana dalam pelukannya. “Dengan begitu aku bisa merasa bahagia karena guru.”

“Aku akan mengingatnya.”

Untuk beberapa menit mereka terdiam dalam posisi itu. Hingga Hana melepasnya, dan meminta Donghae mengantarnya pulang.

“Oh tidak-tidak, aku ingin makan di kedai langgananku dulu sebelum itu.” Hana menarik tangan Donghae manja. Mengambil tas Hana di ruang kesehatan dan tas Donghae di ruang guru lalu keluar gedung sekolah.

Mereka pergi ke tempat biasa Hana sarapan sebelum berangkat sekolah. Kedai dengan masakan rumah yang membuat Hana merasa seperti makan masakan ibunya.

“Tumben datang malam hari.” Bibi pemilik kedai itu bertanya saat meletakan alat makan untuk Hana dan Donghae. “Kali ini siapa lagi laki-laki tampan yang kau bawa?”

Mata mereka mengarah pada Donghae yang duduk di hadapan Hana. “Ini guru pembimbingku.”

“Kau punya banyak kenalan laki-laki tampan. Bisa bantu putriku dapatkan satu yang baik?” Hana tertawa dan mengangguk sebelum bibi itu pergi meninggalkan mereka dan kembali ke dapurnya.

“Kau sering datang ke sini?” Hana mengiyakan hal itu.

“Setiap aku malas sarapan di rumah, ini adalah tempat sarapan terbaik.” Donghae mengangguk paham akan itu. Tapi ada sesuatu yang mengganggu otaknya.

“Kau sering datang ke sini dengan yang lain?” Lagi Hana mengiyakan dengan santai. Seulas senyum dari Hana untuk Donghae terasa seperti belati bagi Donghae.

“Dengan siapa?” Walau menyakitkan saat mendengar Hana menyebut nama laki-laki lain yang ada di malam gadis itu, tapi Donghae benar-benar ingin tahu tentang murid kesayangannya itu saat ini.

“Daehyun oppa pernah, Baekhyun oppa pernah, Mark oppa dan Luhan oppa juga. Tapi yang paling sering Sehun dan Jungkook.” Hana memainkan sumpitnya dengan kimci yang sudah terhidang di sana. “Ah ya, Himchan oppa dan Ilhoon juga pernah aku ajak ke sini kalau tidak salah. Kenapa memang Guru?”

Donghae hanya terdiam mendengar nama-nama itu. Ada nama yang dia kenal dan ada juga nama asing yang bahkan baru kali itu dia dengar dari gadis ini. Itu membuat Donghae sedikit gila. Ada rasa marah pada dirinya karena tidak bisa menjadi satu-satunya bagi gadis ini.

“Aku sudah sering mengatakan sebelumnya, kalian hanya akan terluka jika kalian melibatkan terlalu banyak perasaan padaku.” Hana mengatakan itu dengan suara lirih, tapi Donghae mendengarnya. Donghae tahu Hana sadar kalau dia merasa sakit mendengar nama-nama tadi.

“Aku baik-baik saja.” Donghae mengusap pucuk gadis itu gemas. “Lagi pula, sebentar lagi aku akan mendapat gadis lain sesuai keinginanmu. Jadi lupakan yang tadi. Salahku bertanya tentang mereka.”

Hana mengangguk dan menyuapkan sepotong kimchi untuk Donghae. Dalam hati gadis itu dia bersyukur karena akan terbebas dari hubungan tidak masuk akalnya dengan salah satu dari pria-pria pilihannya.

Dan paling tidak, Hana tahu malam kencan terakhirnya dengan sang guru berjalan lancar.

 

Tinggalkan komentar